Geosphere #1 - Segregasi Spasial dan Gated Community
Halo, Geografi! Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, terutama di Jakarta, yang begitu pesat mendorong peningkatan kebutuhan akan hunian yang layak. Akibatnya, muncul kawasan-kawasan komunitas berpagar yang menyediakan lingkungan hunian yang modern dan eksklusif dibandingkan dengan kampung di sekitarnya. Hal tersebut tentu memberikan dampak yang cukup signifikan bagi kedua belah pihak. Tetapi apa, sih yang membuat pembangunan pemukiman berpagar di pinggiran Jakarta semakin berkembang saat ini? Bagaimana solusi dari perkembangan komunitas berpagar diatas?
GEOSPHERE


Segregasi Spasial dan Gated Community
Pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan, terutama di kota Jakarta, yang begitu pesat mendorong peningkatan kebutuhan akan hunian yang layak. Hunian dianggap layak jika memiliki luas tempat tinggal minimal 7,2 m² per kapita, memiliki akses terhadap air minum layak, memiliki akses terhadap sanitasi layak, dan memiliki ketahanan bangunan (Badan Pusat Statistik, 2023). Peningkatan akan kebutuhan hunian yang layak mendorong pihak pengembang perumahan swasta (developer) menawarkan sebuah perumahan kota baru terencana di pinggiran kota (satellite city; Diningrat, 2015). Akibatnya, muncul kawasan-kawasan pemukiman terencana yang menyediakan lingkungan hunian yang modern dan eksklusif dibandingkan dengan kampung di sekitarnya.
Ekslusivitas pemukiman terencana terlihat secara kualitatif maupun kuantitatif. Pada pemukiman terencana, biasanya terdapat fasilitas dan infrastruktur yang lebih lengkap seperti supermarket, sekolah, arena olahraga, akses terhadap jalan, listrik dan air yang terjamin, sementara kampung-kampung di sekitarnya memiliki fasilitas dan infrastruktur yang terbatas dan seadanya (Sam Sarpong, 2017). Sementara itu, hunian keluarga kampung disekitarnya tidak memadai jika dibandingkan dengan pemukiman terencana. Hal ini terlihat pada hunian yang dibangun oleh developer, yang memiliki bangunan yang lebih luas, dibangun dari bahan-bahan bermutu tinggi, dan disediakan berbagai sarana keamanan, sementara penduduk kampung tinggal bersama keluarga besar mereka di tempat yang sempit dan padat, sering kali satu keluarga mendiami satu ruangan (Roitman, 2018). Adanya perbedaan yang kentara antara pemukiman terencana dengan kampung-kampung di sekitarnya, menunjukkan terjadinya segregasi spasial.
Segregasi spasial adalah pembagian pemukiman atau sosial ruang, umumnya tercipta ketika masyarakat tertarik terhadap keamanan atau gaya hidup baru, yang dimanfaatkan untuk melakukan pengembangan pemukiman yang terencana (Greenstein, 2000; Kresna et al., 2024). Segregasi spasial ditandai dengan pembuatan batas teritorial dalam bentuk dinding tinggi yang memisahkan pemukiman terencana dengan kampung disekitarnya, mempertegas adanya perbedaan yang nyata (Kresna et al., 2024). Pengembangan pemukiman terencana yang dinamis dan cepat di daerah suburban memisahkan pemukiman terencana dan kampung-kampung di sekitar yang sudah ada sebelumnya, membahayakan perkembangan kawasan suburban kedepannya (Wulangsari, 2014). Hal ini bisa berdampak buruk di lingkungan sekitarnya, seperti menghasilkan limbah yang jika tidak diolah dengan benar, bisa berdampak buruk pada alam. Selain berdampak pada alam (Setiawan, 2014), segregasi spasial menunjukkan ketimpangan antara dua komunitas (Diningrat, 2015; Kresna et al., 2024), seperti ketimpangan tingkat pendapatan dan kesejahteraan, kualitas layanan publik seperti pendidikan dan kesehatan, akses terhadap infrastruktur dasar seperti air bersih, sanitasi, dan jalan, hingga kurangnya ruang publik dan rekreasi. Akibatnya, muncul kawasan yang hanya mampu dinikmati oleh segelintir masyarakat, menciptakan ketimpangan dengan penduduk yang sudah dahulu bermukim disekitarnya.
Kesenjangan di Sunter, Jakarta Utara
Salah satu bentuk segregasi spasial terlihat dalam gated community, atau komunitas berpagar, suatu area dengan akses yang dibatasi, membuat ruang publik menjadi privat (Nan Ellin, 1997). Misalnya, akses jalan yang dahulunya dapat digunakan oleh semua masyarakat jadihanya dapat digunakan oleh penghuni kawasan tersebut, memunculkan “sekat-sekat” yang membatasi atau memisahkan hubungan antara gated community dengan dunia luar. Akses tersebut dikontrol oleh penghalang fisik dinding atau pagar yang dilengkapi dengan area masuk yang juga berpagar dan dijaga ketat.
Di Indonesia, terdapat berbagai macam gated community, mulai dari perumahan berskala kecil hingga perumahan berskala besar yang sangat ketat penjagaannya seperti cluster, sehingga masyarakat luar selain penghuni dari perumahan tersebut dilarang masuk ke area perumahan (Roitman & Recio, 2019). Pada kawasan tertentu, pengembang gated community bahkan menawarkan fasilitas dan pelayanan publik seperti sekolah, jalan, dan rumah sakit yang dimiliki oleh pengembang tersebut atau pihak swasta lain. Dengan begitu, gated community mensegregasi penghuni gated community itu sendiri dengan warga yang ada di luarnya, melalui perubahan ruang dan fasilitas publik menjadi privat.
Gated community adalah salah satu dampak perkembangan kota yang semakin tak terkendali. Beberapa masyarakat kelas menengah memutuskan untuk pindah ke daerah pinggiran (suburban), yang dianggap lebih cocok ditinggali karena harga tanah yang murah dan suasana lingkungan yang lebih nyaman dibandingkan perkotaan (Asiz, 2008). Pengembang kemudian memanfaatkan hal tersebut untuk mewujudkan keinginan warga tersebut, seperti pelayanan dan fasilitas publik yang memadai, sekaligus serta menawarkan keeksklusivan dan status sosial (Roitman & Recio, 2019). Untuk meningkatkan ekslusivitas tersebut, muncul pagar, penjaga, pembagian lahan, serta peraturan pembangunan dalam gated community yang dimaksudkan untuk membatas atau menghalangi akses ke area residensial, komersial, dan area publik lainnya (Asiz, 2008). Dengan begitu, muncul ruang pribadi atau swasta yang “ekslusif” dan benar-benar terpisah dari ruang publik, sebagaimana yang tersedia di kota.
Kita gali lebih lanjut mengenai gated community. Pada dasarnya, suatu kawasan dapat dikatakan sebagai gated community adalah memenuhi syarat morfologi dibawah ini :
Memiliki gaya arsitektur yang homogen: biasanya, gaya arsitektur dalam gated community biasanya identik, yaitu berupa rumah tinggal yang memiliki pilar-pilar tinggi yang kokoh dan penggunaan jendela yang lebar dan tinggi, dan kadang meniru gaya Barat seperti Eropa. Hal ini sangat kontras dengan perkampungan di sekitarnya, yang didominasi oleh rumah petak dan kontrakan dengan gaya seadanya.
Memiliki pola jalan yang tertutup: pola jalan yang terdapat dalam gated community biasanya tertutup, seperti lingkungan pemukiman pinggiran kota Amerika yang banyak jalan buntu dan jaringan jalannya dendritik, memusatkan jalan menjadi satu jalan besar mengarah ke pintu masuk. Tujuannya adalah untuk memberikan keamanan dan privasi kepada orang-orang yang tinggal di kawasan tersebut, menyebabkan penurunan tingkat keleluasaan berjalan (walkability) dan mendukung mobilitas yang bergantung pada kendaraan pribadi (Pratama, 2022).
Adanya pembatas yang memisahkan antara penghuni dan masyarakat sekitar: pembatas yang terdapat dalam gated community dapat berbentuk fisik seperti pagar atau tembok, tetapi juga dapat berbentuk nonfisik seperti cara pandang dan sosialisasi pada masyarakat dua kawasan tersebut satu sama lain, hal ini menandai manifestasi perbedaan sosial dan ekonomi yang mencolok antara mereka yang berada di dalam dan di luar gerbang, mengurangi jumlah ruang publik yang seharusnya dapat digunakan secara bersama-sama (Roitman, 2013). Padahal, keberadaan ruang publik dapat menciptakan kontak sosial antar kelas ekonomi dan sosial satu sama lain.
Gated community tentu berdampak signifikan terhadap struktur ekonomi, sosial budaya dan dinamika konflik masyarakat. Secara umum, pengembangan kota terencana menyebabkan terjadinya konversi lahan dari yang sebelumnya lahan pertanian kemudian dibangun perumahan, sehingga dapat menyebabkan perubahan aktivitas ekonomi (Wulangsari, 2014). Sementara itu, dalam menciptakan pembatas yang memisahkan antara satu komunitas dengan lain, muncul segregasi spasial antara perumahan baru dengan kampung disekitarnya, karena mengurangi interaksi antara dua komunitas. Terakhir, perbedaan akses terhadap infrastruktur seperti jalan antara komunitas berpagar dengan lingkungan lokal menimbulkan pandangan negatif antar kedua komunitas, yang menjadi bibit-bibit konflik (Yandri, 2015). Maka, sebagaimana yang sudah disebutkan, gated community berperan dalam segregasi sosial penghuni dengan masyarakat yang tinggal diluar area perumahan tersebut.
Gated Commmunity dan Segregasi Spasial: Suatu Hubungan?
Kini, kita mencoba untuk mengetahui bagaimana gated community dapat menimbulkan segregasi spasial. Hal ini penting mengingat bahwa pada saat ini, pembangunan kota-kota baru di pinggiran Jakarta dengan cluster perumahan dengan akses terbatas didalamnya sedang dilakukan secara masif, sehingga menimbulkan “sekat” antara kawasan tersebut dengan perkampungan disekitarnya. Karena itu, kami memutuskan untuk mempelajari fenomena ini melalui studi kasus terhadap perumahan di pinggiran kota Jakarta, Indonesia yaitu Bumi Serpong Damai (BSD) dan kampung disekitarnya. Pertama, kita akan melakukan studi literatur terhadap gated community dan segregasi spasial, yang kemudian akan kita konfirmasi apakah sesuai dengan kondisi di dunia nyata. Konfimrasi ini dilakukan dengan melakukan observasi morfologi suatu perumahan di BSD, apakah memenuhi definisi gated community atau tidak. Hal ini akan dilakukan lewat citra satelit Google Earth. Setelah konfirmasi ini, kita akan melihat apakah segregasi spasial tersebut berdampak kepada kondisi alam dan sosial di dalam dan sekitar BSD. Dengan begitu, kita akan lebih paham mengenai fenomena gated community dan hubungannya terhadap fenomena segregasi spasial yang lebih luas, dan dampaknya terhadap kehidupan kita.
Bumi Serpong Damai (BSD) adalah kawasan perumahan terencana yang terletak di Kota Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang. Ia berjarak 25 km dari pusat kota Jakarta, dan dapat diakses melalui tol Jakarta-Merak, tol Jakarta-Serpong, dan kereta rel listrik Stasiun Rawa Buntu.
Bumi Serpong Damai
Sejak awal pembuatannya, BSD direncanakan sebagai kota satelit Jakarta yang awalnya ditujukan untuk menjadi kota mandiri, dimana semua fasilitas disediakan oleh pengembang mulai dari kawasan perumahan, komersial, industri, pendidikan, hingga wisata. Pembangunan BSD dimulai pada 16 Januari 1989, tetapi sempat dihentikan karena krisis ekonomi sampai tahun 2003, dimana Sinar Mas Land mengambil alih Bumi Serpong Damai dan mengganti nama Bumi Serpong Damai menjadi BSD City, serta mengubah nama-nama seluruh kompleks perumahan di BSD City, untuk menciptakan citra merek yang mewah dan kontemporer. Di bawah naungan Sinar Mas Land, BSD City berkembang dalam arah yang berbeda dengan arah yang diambil Ciputra, pengembang sebelumnya. Pembangunan kawasan perumahan dijadikan berfokus pada gated community, dengan fasilitas yang hanya dapat dinikmati oleh penghuni kawasan tersebut seperti taman dan klub olahraga. Hal tersebut sejalan dengan konsep terbaru yang dibuat oleh pengembang yakni memberikan pilihan tempat tinggal bagi golongan menengah ke atas (Firzandy, 2018).
Sekarang, BSD City memiliki fasilitas, dari pusat pendidikan internasional seperti Bina Nusantara International School, Jakarta Nanyang School dan Sinarmas World Academy, pusat perbelanjaan seperti AEON Mall, dan bahkan pusat perkantoran seperti Green Office Park dan Digital Hub. Tidak hanya itu, kawasan BSD City ini dilengkapi dengan akses transportasi yang sangat lengkap, seperti bis gratis, serta koneksi dengan commuter line, dan Tol Jakarta-Serpong. Maka, dari konsep hunian, pola pemukiman, pelayanan dan fasilitas publik, BSD merupakan salah satu contoh perumahan berskala besar yang akan menjadi objek bahasan kita pada kesempatan ini.
Karakter Fisik dan Sosial Bumi Serpong Damai
Bumi Serpong Damai dikembangkan dengan pola perumahan yang terbagi dalam beberapa cluster. Cluster-cluster ini dibagi berdasarkan tipe rumah yang terdapat di dalamnya, seperti rumah dengan gaya Eropa terdapat dalam cluster yang kemudian juga dinamakan dengan unsur Eropa, seperti Foresta Giardina dan Venetian, sementara itu, ada juga rumah dengan gaya Amerika terdapat dalam cluster yang juga dinamakan unsur Amerika seperti Manhattan dan Lyndon.


Gambar 1. Rumah dalam Cluster Foresta Giardina. Sumber: raywhite.co.id


Gambar 2. Rumah dalam Cluster Lyndon. Sumber: bsdcity.web.id
Untuk masuk ke dalam cluster di BSD, orang luar harus melalui pintu gerbang di bagian depan, yang berupa jalan utama di dalam kompleks dan tidak demikian halnya dengan yang di dalam cluster. Pola jalan cluster di BSD juga cenderung tertutup dan terpusat menjadi satu jalan besar dari pintu masuk, dari jalan utama tersebut, jalan bercabang menuju masing-masing kluster, membentuk pola dendritik. Hal ini dapat terlihat dalam citra satelit melalui Google Earth pada cluster Foresta Giardina. Selain itu, cluster bersifat privat bagi orang luar dan diberi pembatas seperti pagar atau dinding untuk menghalangi orang luar masuk ke dalam (Asiz, 2008).
Masyarakat yang mendiami kawasan diatas sebagian besar merupakan masyarakat kelas ekonomi menengah keatas (Sekarwati, 2008). Hal tersebut dapat ditunjukan dengan pengembang yang memasarkan cluster rumah premium di kisaran 20–50 miliar rupiah dan terjual habis dalam waktu singkat (Nurdifa, 2023). Selain itu, kawasan perumahan yang ditawarkan oleh pengembang BSD memiliki luas tanah dan bangunan yang besar, melebihi 200 m2 serta ditunjang oleh fasilitas yang diperuntukan untuk masyarakat kelas ekonomi menengah keatas seperti sekolah internasional, lapangan golf, dan klub olahraga.
Dari ciri-ciri fisik yang di atas, bisa kita lihat bahwa BSD merupakan salah satu studi kasus gated community. Kini, fokus kita beralih menuju tanda-tanda segregasi spasial di BSD.
Segregasi Spasial Bumi Serpong Damai dengan Kampung Sekitarnya
Sebagaimana yang sudah kita bahas di atas, segregasi spasial ditandai oleh beberapa hal. Biasanya, terdapat batas-batas teritorial seperti tembok tinggi yang memisahkan permukiman dari area perkampungan, dan fasilitas-fasilitas di dalam kawasan permukiman ini kontras dengan area perkampungan di luar tembok. Melalui penelusuran internet dan pengamatan melalui citra di Google Earth, kita bisa melihat segregasi spasial antara BSD dengan kampung-kampung di sekitarnya.


Pertama, kita akan melihat contoh dari cluster De Maja dan Kampung Kebon Pala yang berada di sekitarnya, sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Sebagaimana yang terlihat pada Gambar 5., terdapat tembok fisik menyekat ruang-ruang antara cluster perumahan dengan kampung sekitarnya.


Gambar 4. Peta Cluster De Maja dan Kampung Kebon Pala


Gambar 5. Tembok antara cluster De Maja dan Kampung Kebon Pala
Satu-satunya akses keluar masuk cluster De Maja adalah gerbang yang terdapat di sebelah barat cluster, yang dilengkapi dengan sistem penjagaan ketat untuk memastikan keamanan dan eksklusivitas, sebagaimana terlihat dalam Gambar 6.


Gambar 6. Gerbang keluar masuk cluster De Maja
Ciri-ciri ini bukanlah keunikan, tetapi juga dimiliki cluster-cluster lain. Sebagaimana pada gambar 7, 8, 9 dan 10, juga terdapat gerbang yang menjadi satu-satunya akses keluar-masuk gated community.








Gambar 7. Cluster Jadeite
Gambar 8. Cluster Nava Park
Gambar 9. Cluster Foresta Giardina
Gambar 10. Cluster Starling
Kesenjangan Fasilitas dan Infrastruktur Bumi Serpong Damai dengan Lingkungan Sekitarnya
Selain dipisahkan dinding fisik, terdapat juga perbedaan fasilitas dan infrastruktur antara kawasan BSD dengan kampung di sekitarnya. Pihak pengembang BSD menawarkan berbagai fasilitas dan infrastruktur dengan standar internasional, rumah sakit dengan fasilitas yang lengkap, taman dan danau yang terawat, fasilitas olahraga, lapangan golf serta berbagai fasilitas mewah lainnya sebagai Gambar 11, 12, 13, dan 14. Tetapi, kampung disekitarnya hanya memiliki fasilitas seadanya, dan walaupun ada fasilitas-fasilitas berstandar internasional, namun otoritas pengembang membatasi pemanfaatan dan pengelolaan infrastruktur kota baru, termasuk untuk mengatur siapa saja yang boleh mengakses fasilitas perkotaan (Diningrat, 2015). Kondisi tersebut memberikan pemahaman bahwa segregasi spasial merupakan fenomena yang memang terjadi di BSD.


Gambar 11. Jakarta Nanyang School


Gambar 12. Fasilitas olahraga cluster De Maja


Gambar 13. Lapangan golf di BSD


Gambar 14. Lapangan Helikopter BSD
Kita juga dapat membandingkan jalan di BSD (Gambar 15.) dengan kampung di sekitarnya (Gambar 16.). Jalan yang dirancang di BSD, memiliki kondisi jaringan jalan perumahan yang lebar dan dengan kualitas yang sangat baik, sedangkan kondisi jaringan jalan yang terbangun di Kampung Kebon Pala memiliki jalan yang sempit dan berlubang.


Gambar 15. Jalan di cluster De Maja


Gambar 16. Jalan di Kampung Kebon Pala
Selain itu, mewahnya hunian yang ada di cluster-cluster di BSD berbanding terbalik dengan tempat tinggal di kampung-kampung sekitarnya yang ukurannya tidak begitu besar, tidak tertata dan cenderung kumuh.


Gambar 17. Hunian di cluster De Maja


Gambar 18. Hunian di Kampung Kebon Pala
Masyarakat di kampung-kampung memiliki kualitas hidup yang lebih buruk daripada cluster di sekitarnya. Contohnya, Kampung Maruga, salah satu kampung di sekitar BSD yang diapit oleh cluster Neo Catalonia dan The Savia, masih tertinggal dalam beberapa aspek dibandingkan dengan Kota Tangerang Selatan (Propertypro, 2022), khususnya dalam hal kesehatan, pendidikan, dan ekonomi. Angka harapan hidup (AHH) masyarakat Kampung Maruga hanya 62 Tahun, dengan harapan lama sekolah 11.98 tahun setara dengan SMA, dan pengeluaran perkapita masyarakat Kampung Maruga sebesar Rp 2.352.850–angka-angka yang di bawah rata-rata Tangerang Selatan (Badan Pusat Statistik, 2023). Hal ini kontras dengan cluster-cluster di sekitarnya, yang menikmati fasilitas dan infrastruktur yang lebih lengkap. Kesenjangan fasilitas, infrastruktur, ekonomi dan sosial ini merupakan bukti dari segregasi spasial antara BSD dan kampung di sebelahnya, menciptakan dua dunia yang sangat berbeda dalam jarak yang sangat dekat.
Dampak Segregasi Spasial Bumi Serpong Damai dengan Kampung Sekitarnya
Tentunya, segregasi spasial ini memiliki beberapa dampak yang dapat dikatakan seperti dua sisi mata uang. Ada tiga dampak besar yang bisa dipelajari.
Pertama, terjadi perubahan aktivitas ekonomi dan konversi lahan. Awalnya, daerah BSD dan cluster merupakan area pertanian dan hutan karet yang tidak produktif yang kemudian berkembang dengan pesat menjadi sebuah kota mandiri (Rosana, 2019). Tetapi, perkembangan tersebut tidak didorong dengan perkembangan fasilitas pelayanan masyarakat oleh pemerintah Kabupaten Tangerang, sehingga menimbulkan rasa tidak diperhatikan bagi penduduk yang ada di wilayah tersebut. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan perundingan dan menghasilkan pemekaran Kabupaten Tangerang menjadi Kota Tangerang Selatan pada tahun 2008 yang didalamnya terdapat sebagian wilayah BSD. Dalam produk domestik regional bruto, sektor real estate menyumbang sebesar 17,42 persen (Kelana, n.d.), menjadi penyumbang pendapatan terbesar dibandingkan dengan pendapatan pada sektor lain. Tetapi, di sisi lain, perubahan ini juga berdampak negatif, karena pembangunan kawasan BSD memutus akses menuju sawah bagi petani, membuat sebagian besar masyarakat kampung menjadi kehilangan mata pencahariannya (Diningrat, 2015). Selain itu, perubahan lahan menjadi perumahan seringkali menyebabkan banjir (Hafiudzan, 2021). Tetapi, hal ini diikuti dengan pembukaan lapangan pekerjaan baru untuk warga kampung seperti petugas keamanan, karyawan di fasilitas publik, area komersial, dan perkantoran yang berada di dalam BSD (Kelana, n.d.). Konversi lahan inilah yang menjadi pedang bermata dua bagi penduduk lokal, dan tidak serta merta membawa kesejahteraan secara penuh bagi masyarakat kampung sekitar.
Selain itu, gated community di BSD memberikan dampak sosial yang buruk. Gated community seringkali mengeksklusifkan diri, menciptakan segregasi spasial dan mengurangi interaksi sosial antara masyarakat di dalam dan di luar tembok, serta menumbuhkan individualisme penghuni di dalam tembok (Yandri, n.d.). Di sisi lain, menemukan bahwa muncul stigma negatif dari penghuni cluster terhadap terhadap masyarakat kampung di sekitar, dari stigma ‘sarang maling’ karena kampungnya yang berlika-liku dan padat sampai dianggap sebagai titik rawan penyebaran COVID-19, memperkuat sentimen negatif antar komunitas (Hukumonline, 2022). Parahnya, ternyata tidak ada hubungan antara masyarakat Kampung Maruga dengan penghuni cluster karena adanya tembok pembatas yang dibangun oleh pengembang (Sulaiman et al., 2012). Hal ini tidak mengurangi dan malah memperburuk stigma negatif, dan juga menghalangi interaksi sosial, melemahkan solidaritas antarwarga dan memperbesar potensi terjadinya konflik antara penghuni BSD dan kampung disekitarnya, dan faktanya, ketidakcocokan antara kedua belah pihak, terutama terkait dengan kepentingan dan akses jalan, sering kali memicu konflik antara warga dengan pembangunan BSD yang semakin melebar (Roitman & Recio, 2019). Maka, memang segregasi sosial juga mendorong stigma di antara dua sisi, yang dapat menjadi bahan bakar konflik antar-warga.
Refleksi: Suatu Kumpulan Solusi
Terdapat beberapa solusi untuk mengatasi masalah segregasi spasial di Indonesia. Hal ini bergantung pada regulasi-regulasi dan perencanaan untuk mengurangi kesenjangan antara golongan kaya dan golongan miskin, termasuk pada kesenjangan dalam pelayanan dan infrastruktur yang disebabkan oleh segregasi spasial.
Pertama, dari segi komunitas, terdapat community policing. Community policing merupakan sebuah upaya kolaborasi antara polisi dan komunitas untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi di masyarakat (Roitman, 2018). Polisi dapat melakukan upaya dengan mempertemukan perwakilan antara penghuni yang tinggal dalam gated community dengan penghuni yang tinggal di kampung sekitarnya. Dari pertemuan tersebut, dapat dihasilkan sebuah kesepakatan kolektif yang adil dalam menciptakan semangat gotong royong secara kolektif dalam menentukan terjaminnya ketertiban dan keamanan masyarakat. Pertemuan tersebut juga diharapkan dapat menurunkan segregasi diantara dua kawasan tersebut (Roitman, 2018). Maka, langkah pertama untuk menghadapi segregasi spasial harus berawal dari gated community itu sendiri.
Kedua, pemerintah perlu mengatur penggunaan lahan di daerah suburban untuk memastikan bahwa lahan tidak hanya dialokasikan untuk gated community, tetapi juga untuk perumahan yang dapat diakses oleh berbagai kelompok sosial (Khatimah et al., 2018). Perlu dikembangkan kebijakan serta instrumen perencanaan yang mempromosikan inklusivitas dan keberlanjutan yang dapat mengurangi dampak negatif dari pemisahan sosial dan spasial. Kebijakan ini juga harus mengatur pemenuhan kebutuhan dasar seperti akses ke pendidikan, kesehatan, transportasi, dan ruang publik bagi semua kelompok sosial. Langkah ini penting untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan SDGs 10, yaitu mengurangi ketimpangan di dalam dan antar negara, serta SDGs 11, yaitu membuat pemukiman manusia dan kota yang inklusif, aman, tangguh, dan berkelanjutan.
Terdapat regulasi inklusif potensial yang dapat diterapkan sebagai salah satu instrumen untuk mengatasi segregasi spasial, yaitu skema “Rasio 1.2.3”. Skema ini menyatakan bahwa untuk setiap rumah yang dibangun bagi penghuni berpendapatan tinggi, pengembang swasta juga harus membangun dua rumah untuk keluarga berpendapatan menengah dan tiga untuk keluarga berpendapatan rendah. Tetapi, skema ini sulit diimplementasikan karena berbagai alasan. Pertama, sektor swasta tentu merasa tidak menguntungkan untuk membangun rumah bagi keluarga berpenghasilan menengah dan bawah. Kedua, diperlukan panduan dan mekanisme yang jelas serta realistis bagi pejabat publik agar skema ini dapat diterapkan. Dengan demikian, masyarakat dan pihak pengembang dapat lebih memahami instrumen-instrumen tersebut dan, yang terpenting, manfaat potensial dari kota-kota besar yang lebih harmonis dan adil.
Terakhir, pemerintah dapat mensosialisasikan dan memperkuat mekanisme Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Persetujuan AMDAL merupakan syarat untuk mendapatkan izin bagi proyek pembangunan kota baru, sementara tahapan “sosialisasi” mewajibkan pengembang yang berencana membangun sebuah proyek di area yang sudah terbangun, untuk mendapat izin dari penduduk setempat agar proyek tersebut bisa berlangsung. Masyarakat harus diberikan ruang untuk menyuarakan pendapat dan aspirasinya terkait proyek pembangunan. Namun, meskipun AMDAL telah disusun dan disosialisasikan kepada masyarakat, pelaksanaannya seringkali tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan akibat kurangnya pengawasan yang efektif. Akibatnya, lingkungan sekitar terdampak negatif dan hak-hak masyarakat terabaikan. Masalah ini perlu mendapat perhatian serius. Pemerintah perlu memperkuat pengawasan dan penegakan hukum terhadap pelanggaran regulasi penggunaan lahan dan pembangunan. Pastikan bahwa pengembang mematuhi peraturan yang ada dan tidak melakukan pengembangan yang merugikan kepentingan umum.
Benteng Raksasa: Segregasi Spasial di BSD?
Pemisahan antara kawasan terencana dalam bentuk gated community dan kampung di sekitarnya dapat menimbulkan segregasi, mengadakan sekat-sekat ruang antara satu komunitas dengan komunitas di sekitarnya. Dalam kasus BSD, kita melihat adanya gated community dan segregasi spasial, dengan fasilitas lengkap seperti sekolah internasional, pusat perbelanjaan, dan infrastruktur yang modern yang lebih mudah untuk dinikmati penghuni BSD, dibandingkan dengan kampung sekitarnya.
Segregasi spasial yang ada di pemukiman terencana BSD dan kampung di sekitarnya memiliki berdampak struktur ekonomi, sosial budaya dan dinamika konflik di masyarakat. Selain menyebabkan terjadinya konversi lahan dan perubahan aktivitas ekonomi, segregasi spasial mengurangi interaksi antara dua komunitas, meningkatkan potensi konflik antar komunitas masyarakat tersebut. Hal ini dapat ditangani melalui beberapa cara, seperti diantaranya penerapan kebijakan community policing, mengembangkan kebijakan serta instrumen perencanaan yang mempromosikan inklusivitas dan keberlanjutan, penerapan skema “Rasio 1.2.3” dan penguatan mekanisme sosialisasi dan pengawasan AMDAL.
Pada dasarnya, segregasi spasial merupakan tantangan yang membutuhkan solusi komprehensif. Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi segregasi spasial di kawasan terencana seperti BSD bukan hanya sekadar pilihan, melainkan keharusan. Melalui kolaborasi antara pemerintah, pengembang, masyarakat, dan berbagai pemangku kepentingan lainnya, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih adil dan setara, di mana semua warga memiliki akses yang sama terhadap sumber daya dan peluang.


Referensi
Asiz, Rangi Faridha. (2008). Fenomena gated community di perkotaan = The phenomenon of gated community in cities (Studi kasus: Perumahan Telaga Golf Sawangan (Depok), Sentul City (Bogor), the Green (BSD City), Pesona Khayangan Estate (Depok)). https://lib.ui.ac.id/detail.jsp?id=125213#
Badan Pusat Statistik. (2023). Distribusi PDRB Kota Tangerang Selatan ADHB Menurut Lapangan Usaha Tahun (Persen), 2021–2023. https://tangselkota.bps.go.id/indicator/52/92/1/distribusi-pdrb-kota-tangerang-selatan-adhb-menurut-lapangan-usaha-tahun-persen-.html
Badan Pusat Statistik. (2023). Persentase Rumah Tangga yang Memiliki Akses Terhadap Hunian Yang Layak Dan Terjangkau Menurut Daerah Tempat Tinggal (Persen), 2021–2023. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTI0MiMy/persentase-rumah-tangga-yang-memiliki-akses-terhadap-hunian-yang-layak-dan-terjangkau-menurut-daerah-tempat-tinggal--persen-.html
Firzandy. (2018). BSD City: Menuju World Class City. ULTIMART Jurnal Komunikasi Visual 10(1). https://doi.org/10.31937/ultimart.v10i1.765
Greenstein, Francisco Sabatini, dan Martim Smolka. (2000). Urban Spatial Segregation: Forces, Consequences, and Policy Responses. Land Lines Newsletter of the Lincoln Institute of Land Policy
Hafiudzan. (2021). Mahasiswa UGM Meneliti Permasalahan Perumahan di Pinggiran Jakarta — Peristiwa. Indonesiana.id. Diakses 9 Juli 2024 dari https://www.indonesiana.id/read/148073/mahasiswa-ugm-meneliti-permasalahan-perumahan-di-pinggiran-jakarta
Hukumonline. (2022). Community Policing Sebagai Upaya Pengembalian Citra Polri di Mata Masyarakat. Diakses pada 30 Juli 2024 dari https://www.hukumonline.com/berita/a/community-policing-sebagai-upaya-pengembalian-citra-polri-di-mata-masyarakat-lt6319aae86a0de/
Kelana. (n.d.). Study Dampak Sosial dan Ekonomi Kampung Maruga
Khatimah et al. (2018). Implementasi Hukum Pengendalian Dampak Lingkungan dalam Pembangunan Perumahan di Kabupaten Gowa. https://jurnal.umsb.ac.id/index.php/pagaruyuang
Kresna et al. (2024). Brokerage and social segregation: a case study of cluster housing environment in Gading Serpong, Indonesia, Southeast Asia: A Multidisciplinary Journal. https://doi.org/10.1108/SEAMJ-06-2023-0051
Nan Ellin. (1997). Architecture of Fear. (Princeton : Princeton University Press)
Nurdifa. (2023). BSD City Pede Sasar Segmen Kelas Atas Jual Properti Premium. Bisnis.com. Diakses pada 30 Juni 2024 dari https://ekonomi.bisnis.com/read/20230223/47/1630975/bsd-city-pede-sasar-segmen-kelas-atas-jual-properti-premium
Pratama, Daniel Caesar. (2022). Jakarta Gated City: Gated Communities and The Deepening Inequality. Medium. Diakses 9 Juli 2024 dari https://medium.com/@danielcaesarpratama/jakarta-gated-city-3cf982bacc3
Propertypro. (2022). Sejarah Dibangunnya BSD City dari Hutan Karet Menjadi Kota Modern. Diakses pada 19 Juli 2024 dari https://www.propertypro.co.id/article/120/sejarah-dibangunnya-basd-city-dari-hutan-karet-menjadi-kota-modern.html
Rendy, A. Diningrat. (2015). Segregasi Spasial Perumahan Skala Besar: Studi Kasus Kota Baru Kota Harapan Indah (KHI) Bekasi. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota vol. 26, no. 2, hlm. 111–129. 10.5614/jpwk.2015.26.2.4
Roitman. (2013). Close but Divided: How Walls, Fences and Barriers Exacerbate Social Differences and Foster Urban Social Group Segregation. Housing Theory and Society 30(2). https://doi.org/10.1080/14036096.2012.728150
Roitman. (2018). Mengatasi ketimpangan dengan kekuatan perencanaan perkotaan. The Conversation. Diakses 18 Juli 2024 dari https://theconversation.com/mengatasi-ketimpangan-dengan-kekuatan-perencanaan-perkotaan-91150
Roitman & Recio. (2019). Understanding Indonesia’s gated communities and their relationship with inequality. Housing Studies. https://doi.org/10.1080/02673037.2019.1636002
Rosana. (2019). Kerap Kebanjiran, Warga Desa Salahkan Perumahan Mewah di BSD. Tempo. Diakses pada 19 Juli 2024 dari https://metro.tempo.co/read/1164488/kerap-kebanjiran-warga-desa-salahkan-perumahan-mewah-di-bsd
Sam Sarpong. (2017). ‘Building Bridges or Gates? Gated Communities’ Escape from Reality’. International Journal of Social Economics 44 (12) (2017): 1584–96. 10.1108/IJSE-03–2016–0103
Sekarwati. (2007). Pengaruh Bumi Serpong Damai (BSD City) Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk Sekitar. (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia). http://repository.upi.edu/80926/
Setiawan. (2024). Polisi menindak pengelola limbah ilegal di bantaran sungai di Bogor kiriman dari BSD. ANTARA JABAR. https://jabar.antaranews.com/berita/511095/polisi-menindak-pengelola-limbah-ilegal-di-bantaran-sungai-di-bogor-kiriman-dari-bsd
Sulaiman et al. (2012). Community Development and its Influence on Community Policing. American Journal of Applied Sciences 9(7). https://doi.org/10.3844/ajassp.2012.968.973
Susilawati. (2015). Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Desa Pagedangan Kecamatan Pagedangan Kabupaten Tangerang 1993–2013. https://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/27313
Wulangsari. (2014). Tipologi Segregasi Permukiman berdasarkan Faktor dan Pola Permukiman di Solo Baru, Sukoharjo. Biro Penerbit Planologi Undip: Jurnal Pembangunan Wilayah & Kota. Volume 10 (4) (2014): 387–399
Yandri. (2015). CONFLICTS AND SEGREGATION OF HOUSING CLUSTER COMMUNITIES AND ITS SURROUNDING, JURNAL KEPENDUDUKAN INDONESIA. Vol. 10 No. 2. https://doi.org/10.14203/jki.v10i2.68