Geofact #6 - Kenapa Pamanku Datang dari Desa: Menelusuri Fenomena Rural Decline
Halo, Geografi! Seperti yang ada di lagu, “Kemarin paman datang, pamanku dari desa,” membawa rambutan, pisang, sayur-mayur beragam rupa. Tetapi, perkembangan kota menjadi sebegitu luas, sampai diproyeksikan bahwa pada tahun 2030, mayoritas penduduk Indonesia akan tinggal di kota, menyebabkan desa akan kehilangan penduduk produktifnya secara perlahan-lahan. Bisa jadi, kedepannya di desa tidak akan ada rambutan, pisang, sayur-mayur, maupun paman, lho! Kondisi inilah disebut sebagai rural decline, dimana kualitas ekonomi, sosial, dan infrastruktur di wilayah pedesaan, menyebabkan daerah tersebut semakin tertinggal dibandingkan kawasan perkotaan. Tetapi, kok, bisa hal ini terjadi? Selain itu, bagi kalian yang tertarik lebih lanjut mengenai isu rural decline dan isu-isu pemukiman lain, bisa mengikuti GNSS The 16th G-Days UI 2024. Mari lihat infografis ini untuk mengetahui informasi selengkapnya! Ikuti semua media sosial The 16th G-Days UI 2024 untuk melihat update dan informasi selanjutnya.
GEOFACT


Rural Decline: Kenapa Paman ke Kota?
Wilayah rural, simpelnya, adalah wilayah yang “bukan kota” (Woods, 2010, p. 16), seperti desanya “ paman” di lagu “Paman Datang” sebagai daerah yang indah, penuh sayur-mayur dan buah. Tapi, kalau gitu, langit dan laut adalah wilayah rural, dong? Bukan. Karena definisi yang terlalu luas tadi, banyak ahli yang memiliki pendapatnya tentang apa yang disebut wilayah rural. Contohnya, banyaknya ruang yang terbuka (Woods, 2010, p. 17), kepadatan penduduk yang rendah (Woods, 2010, p. 34), dan mata pencaharian yang didominasi oleh sektor pertanian (Katherina, 2023).


Kemarin, Paman datang!
Faktanya, sejak 1981, semakin sedikit penduduk Indonesia tinggal di wilayah rural (Li et al., 2019). Hal ini bisa terjadi karena wilayah tersebut mulai berubah menjadi kota (Katherina, 2023), atau karena semakin banyak penduduk di desa yang berpindah ke kota, utamanya untuk mengejar kesempatan hidup lebih baik (Pacione, 2009). Akibatnya, lambat laun penduduk desa menjadi semakin sedikit, jasa dan bisnis menurun, komunitas-komunitas terbengkalai, dan wilayah desa menjadi “kopong” (hollowed up; Li et al., 2019). Fenomena ini ini disebut sebagai rural decline–penurunan desa.
Benang merah penyebab rural decline bisa ditarik ke ketimpangan antara desa dan kota (Li et al., 2019). Di negara berkembang seperti Indonesia, kota menjanjikan lapangan pekerjaan, layanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan, dan kesempatan yang lebih besar daripada desa (Hakim et al., 2022; Pacione, 2009), mendorong masyarakat desa untuk meninggalkan desa dan bekerja di kota. Inilah yang terjadi di Indonesia: karena pendapatan penduduk yang berpindah ke kota lebih tinggi daripada di desa (Warda et al., 2018), persentase migran desa-kota meningkat. Kalau kemarin paman datang untuk berkunjung, sekarang paman datang mencari kerja.
Namun, migrasi ini lumrah di negara berkembang, dan akan semakin berkurang seiring negara tersebut berkembang (Pacione, 2009). Tetapi, kalau kesempatan seperti lapangan kerja dan infrastruktur masih terpusat di kota, maka migrasi desa-kota tidak akan berhenti. Disinilah baru terjadi rural decline (Li et al., 2019).
Dampak Rural Decline
Bayangkan saja: kalau semua paman-paman dari suatu desa datang ke kota, lalu siapa yang bekerja di desa? Inilah yang menjadi dampak dasar dari rural decline: muncul suatu siklus dimana penduduk yang semakin sedikit mengurangi kualitas infrastruktur dan layanan dasar, membebani keluarga yang masih berada di desa, dan kemudian mendorong penduduk keluar dari desa (Camarero & Oliva, 2019). Di luar siklus tersebut, muncul juga dampak-dampak turunan seperti semakin menguatnya ketidaksetaraan gender (Camarero & Oliva, 2019), menurunnya semangat gotong-royong desa, dan melemahnya ekonomi desa–yang kemudian semakin memperkuat rural decline (Li et al., 2019).
Terus, siapa, dong, yang bertani? Makanya, rural decline juga mengancam ketahanan pangan (Tenza-Peral et al., 2021); karena desa semakin sedikit petaninya, maka produk pertanian pun menurun (Li et al., 2019). Di sisi lain, kota juga harus mencari strategi untuk menampung migran-migran yang datang (Pacione, 2009). Intinya, dampak rural decline tidak hanya dirasakan wilayah desa saja.
Fenomena Rural Decline di Dunia
Rural decline terjadi hampir di seluruh dunia dilihat dari jumlah penduduk desa yang terus menurun. Terlebih lagi, karena pendapatan daerah pedesaan berbasis pertanian dan lokasinya jauh dari kawasan perkotaan, depopulasi diikuti masalah penurunan ekonomi, kerukunan, dan luas pasar, serta tutupnya UMKM (Li et al., 2019). Di Negeri Paman Sam, terjadi penurunan penduduk desa sebanyak 10%1980–2000 di 700 daerah rural. Selain itu, di Tiongkok, rural decline mendorong hilangnya 128 juta lapangan pekerjaan di desa, dan tutupnya 365.400 sekolah antara tahun 1995–2016; bayangkan, kira-kira 48 sekolah tutup setiap harinya (Yang et al., 2017)!
Dari data yang dihimpun Bank Dunia, di antara tahun 1981 sampai 2016, hampir tidak ada negara di Asia yang tidak mengalami penurunan populasi penduduk desa, kecuali Asia Tengah dan Papua Nugini; dan penurunan penduduk desa terjadi paling tinggi di Jepang, Malaysia, Timur Tengah, dan Amerika Latin (Li et al., 2019).


Perubahan Proporsi Penduduk Rural. Sumber: Li et al. (2019)
Kalau desa paman, gimana? Sayangnya, belum banyak penelitian mengenai urban decline di Indonesia, padahal menurut BPS, semakin banyak desa yang berubah kedudukannya menjadi desa-kota. Jadi, menurunnya eksistensi desa bukan karena ditinggalkan penduduk, tetapi karena ada proses pengkotaan di desa-desa lain, yang perlahan mengubahnya menjadi wilayah urban (Firman, 2016). Hal ini dapat ditinjau dari perubahan kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian, dan ketersediaan pelayanan perkotaan (Badan Pusat Statistik Indonesia, 2021).
Di Jawa Barat, terjadi 2659 reklasifikasi dari desa ke urban, yang meningkat menjadi 4295 di 2020. Reklasifikasi desa perkotaan banyak ditemukan di daerah dominasi sektor pertanian, seperti di Garut dan Tasikmalaya. Sebagian besar daerah rural berada di selatan Jawa Barat, sementara itu, daerah urban terbentang dari barat ke timur mengikuti alur Bodebek sampai Bandung Raya; artinya kebanyakan uwak datang dari pesisir selatan, sementara desa-desa di tengah Jawa Barat mulai termakan rakusnya kota.
Fenomena reklasifikasi ini didorong oleh jarak kota besar dengan desa, pertumbuhan desa-kota timbul dari desa yang berdekatan dengan pusat pertumbuhan sehingga kemiskinan berkurang. Hal ini menyebabkan desa yang jauh semakin tertinggal, rentan ditinggal migrasi desa ke kota dan semakin terjerumus kemiskinan (World Bank, 2020).


Reklasifikasi Desa-Kota di Jawa Barat. Sumber: Katherina (2023)
Closing the Gap
Jadi, bagaimana caranya menghentikan rural decline? Penelitian-penelitian mengenai rural decline menitikberatkan adanya gap (Camarero & Oliva, 2019; Hakim et al., 2022; Li et al., 2019), kesenjangan antara desa dan kota dari segi infrastruktur, layanan, pendapatan, ketersediaan lapangan kerja, dan sebagainya, yang menyebabkan rural decline. Maka, solusi ampuh untuk menghentikan rural decline adalah menutup kesenjangannya–closing the gap.
Hal ini bisa dilakukan oleh banyak cara (Pacione, 2009). Intinya, terdapat tiga kata kunci: pertama, diversifikasi sumber pendapatan agar desa tidak tergantung pertanian yang rentan perubahan iklim (Li et al., 2019); kedua, transformasi, agar sumber-sumber penghasilan yang ada menjadi lebih efisien melalui teknologi (Fahmi & Mendrofa, 2024); dan ketiga, dukungan, bisa melalui infrastruktur atau program lain untuk mempermudah akses petani untuk melakukan transformasi dan diversifikasi (Li et al., 2019).
Kesimpulan
Kalau dulu paman hanya berkunjung bawa buah-buahan, kini paman tidak lagi berkunjung membawa hasil bumi karena rumahnya sudah di kota. Rural decline terjadi karena paman dan tetangganya mencari kesempatan penghidupan yang jauh lebih baik di kota, membuat desa semakin sepi.
Hal ini banyak dampaknya, seperti melemahnya komunitas desa sendiri, dan bahkan mengancam ketahanan pangan. Fenomena ini terjadi rata di seluruh dunia, seperti di Tiongkok, yang menyebabkan ribuan sekolah tutup, sementara di Indonesia status desa banyak yang berganti menjadi desa perkotaan akibat urbanisasi di dalam desa. Jalan keluar dari rural decline dapat ditempuh melalui penyetaraan desa-kota dengan diversifikasi pendapatan, teknologi, dan fasilitas di desa.


Referensi
Badan Pusat Statistik Indonesia. (26 Mei 2021). PERATURAN KEPALA BADAN PUSAT STATISTIK NOMOR 120 TAHUN 2020 TENTANG KLASIFIKASI DESA PERKOTAAN DAN PERDESAAN DI INDONESIA 2020: Buku 2 Jawa.
Camarero, L., & Oliva, J. (2019). Thinking in rural gap: mobility and social inequalities. Palgrave Communications, 5(1). https://doi.org/10.1057/s41599-019-0306-x
Fahmi, F. Z., & Mendrofa, M. J. S. (2024). Digitalisation and Rural Livelihood Transformation: Evidence from Indonesia. International Journal of Rural Management, 09730052231223822.
Firman, T. (2016). The urbanisation of Java, 2000–2010: towards ‘the island of mega-urban regions.’ Asian Population Studies, 13(1), 50–66. https://doi.org/10.1080/17441730.2016.1247587
Hakim, A. R., Nachrowi, N. D., Handayani, D., & Wisana, I. D. G. K. (2022). Do Amenities and Economic Factors Affect Migration? Empirical Evidence from Indonesian Cities. Environment and Urbanization Asia, 13(1), 11–26. https://doi.org/10.1177/09754253221083169
Katherina, L. K. (2023). Rural-to-urban reclassification and its impact on urbanization in Indonesia: a case study of West Java Province. IOP Conference Series Earth and Environmental Science, 1263(1), 012015. https://doi.org/10.1088/1755-1315/1263/1/012015
Li, Y., Westlund, H., & Liu, Y. (2019). Why some rural areas decline while some others not: An overview of rural evolution in the world. Journal of Rural Studies, 68, 135–143. https://doi.org/10.1016/j.jrurstud.2019.03.003
Pacione, M. (2009). Urban Geography: A Global Perspective. London: Routledge.
Tenza-Peral, A., Pérez-Ibarra, I., Breceda, A., Martínez-Fernández, J., & Giménez, A. (2021). Can local policy options reverse the decline process of small and marginalized rural areas influenced by global change? Environmental Science & Policy, 127, 57–65. https://doi.org/10.1016/j.envsci.2021.10.007
Warda, N., Elmira, E., Rizky, M., Nurbani, R., & Al Izzati, R. (2018). Dinamika Ketimpangan dan Penghidupan di Perdesaan Indonesia, 2006–2016. The SMERU Research Institute.
Woods, M. (2010). Rural. Routledge.
World Bank. (2020). Indonesia Rural Poverty Study.
Yang, D.H., Yang, M., Huang, S.L. (2017). Annual report on China’s education. social sciences academic press, Beijing.