Geofact #5 - Gagal Bersatunya Jawa dan Madura

Halo, Geografi! Tahukah kamu? Di zaman Hindia Belanda, sedimentasi di muara Bengawan Solo menyebabkan pendangkalan yang luar biasa parah. Saking hebatnya, Pulau Jawa dan Madura hampir menyatu! Yuk, cek infografis ini untuk memahami lebih jauh tentang fenomena sedimentasi di Sungai Bengawan Solo, serta dampak dan usaha besar yang dilakukan sejak era kolonial untuk mengatasinya.

GEOFACT

Dion Zhalifunnas & Vanness Fransisco

9/30/2024

Bengawan Solo, Riwayatmu Dulu

Teman-teman pecinta musik keroncong pastinya sudah tidak asing dengan salah satu lagu legendaris karya Gesang, yang berjudul Bengawan Solo. Yap! Lagu tersebut tentunya menceritakan mengenai sungai Bengawan Solo, sungai terpanjang di Pulau Jawa. Dengan panjang kurang lebih 600 km, sungai ini mengalir sampai jauh, meliuk-liuk dari Pegunungan Sewu, Gunung Merapi, Merbabu, dan Lawu di Jawa Tengah, dan Jawa Timur hingga bermuara di wilayah Ujungpangkah, Gresik, Jawa Timur. Sungai ini tergolong sungai tua dengan bentuk yang berkelok-kelok pada bagian hilirnya.

Nah, teman-teman! Tahukah kalian, fenomena sedimentasi dapat mengakibatkan pendangkalan pada bagian muara sungai. Bahkan, sedimentasi Sungai Bengawan Solo ini juga pernah hampir membuat Pulau Jawa dan Madura bersatu? Loh, kok bisa? Yuk kita kupas!

Sedimentasi Muara Bengawan Solo

Teman-teman pastinya sudah sering mendengar istilah sedimentasi, tetapi apa, sih, sedimentasi itu? Sedimentasi adalah proses pengendapan partikel padat di dasar badan air oleh partikel-partikel hasil erosi yang diangkut oleh aliran air atau media lainnya, contohnya, pada sungai (Tundu et al., 2018). Sedimentasi Sungai Bengawan Solo terbilang sangat besar, yaitu mencapai 17 juta ton lumpur setiap tahunnya (Hoekstra P., 1988). Sedimentasi yang besar ini terjadi karena arus Sungai Bengawan Solo yang deras menggerus dinding-dinding sungai di wilayah hulu dan membawa partikel-partikel hasil erosi menuju hilir. Ketika sampai di hilir, arus sungai menjadi lebih tenang sehingga partikel-partikel yang lebih berat terendapkan di dasar sungai.

Delta Bengawan Solo, Gresik, Jawa Timur. Google Earth

Kalau kita lihat melalui Google Earth, kita bisa melihat hasil sedimentasi ini dalam muara Sungai Bengawan Solo, membentuk delta yang menjorok ke Laut Jawa.

Muara Sungai Bengawan Ternyata KW

Maksudnya bagaimana, bang? Iya, betul sekali: muara Sungai Bengawan Solo yang sekarang bukanlah muara asli yang terbentuk secara alami, melainkan buatan manusia (Harriyadi et al., 2024). Aslinya, muara Sungai Bengawan Solo berjarak sekitar 20km lebih ke selatan dari muara saat ini, tepatnya di Desa Bedanten, Gresik. Kalau kita melihat pada Peta Jawa dan Madura yang diterbitkan pada tahun 1860, maka dapat dilihat bahwa ujung aliran sungai Bengawan Solo ternyata berbeda dengan saat ini. Tetapi, bila kita melihat pada Peta Jawa Timur terbitan tahun 1883–1885, maka kita mendapati bahwa ujung aliran Sungai Bengawan Solo sudah sama seperti saat ini.

Nieuwe tevens tappe-kaart van Java en Madoera COLLBN Port 63 N 4. KITVL (1860)

Diambil dari: Kaart van Oost-Java COLLBN Port 62 N 12. KITVL (1883–1885)

Kok, bisa? Karena ternyata, pada saat itu, Pemerintahan Hindia Belanda sempat mengeluarkan suatu megaproyek yang disebut Solo-Valleiwerken

Solo-Valleiwerken adalah megaproyek yang direncanakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk mengembangkan bagian hilir Sungai Bengawan Solo pada akhir abad ke-19. Megaproyek ini bertujuan untuk membuat pengendalian banjir dan sistem irigasi pada bagian hilir Sungai Bengawan Solo seperti Bojonegero, Lamongan, dan Gresik. Salah satu bentuk proyeknya adalah menggeser alur sungai yang awalnya bermuara di Selat Madura, sedikit ke utara hingga bermuara di Laut Jawa (Valiant, 2014). Proses modifikasi ini kemudian meliputi pembuatan kanal sepanjang 14 km, dan bendungan tanah dengan anggaran sebesar ƒ 1.000.000. Kanal ini mulai dikerjakan pada Maret 1882 dan selesai pada Juli 1884, sementara itu pengerjaan bendungan tanah untuk menutup aliran lama baru dimulai pada April 1884 dan selesai pada Desember 1885 (Hendro, 1995).

Alur Lama Bengawan Solo (garis merah), Gresik, Jawa Timur. Google Earth

Modifikasi ini terlihat jelas bila kita lihat melalui Google Earth. Nampak Sungai Bengawan Solo yang awalnya berkelok-kelok, tiba-tiba berbelok ke arah utara menjadi lurus. Sementara itu, alur aslinya masih dapat kita amati pada sebelah timur alur aktif dan bermuara di Selat Madura. Alur lama ini masih terdapat airnya yang dimanfaatkan oleh warga sekitar untuk membuat tambak.

Modifikasi alur Sungai Bengawan Solo ini tentunya bukan tanpa alasan. Berdasarkan pengamatan Letnan Satu W.F.H Cramer pada tahun 1864, terdapat konsentrasi sedimen pasir dan lumpur yang cukup besar pada muara lama Sungai Bengawan Solo, yang dapat menyebabkan pendangkalan pada bagian barat Selat Madura. Hal ini tentunya mendapatkan perhatian serius dari pemerintah kolonial saat itu karena mengancam salah satu pelabuhan paling penting di Hindia Belanda, yaitu Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya. Bila tidak segera ditindaklanjuti, pendangkalan yang lebih parah dapat mengganggu lalu lintas kapal menuju Pelabuhan Tanjung Perak, mempengaruhi perekonomian Hindia Belanda.

Surat kabar De Locomotief edisi tahun 1883 melaporkan adanya pendangkalan bagian barat Selat Madura. Pada awal abad ke-19, kapal dengan sarat air sebesar 6,4 meter dapat memasuki perairan bagian barat Selat Madura tanpa kendala, tapi pada tahun 1858, kapal dengan sarat air sebesar 4,87 meter hanya dapat memasuki perairan bagian barat Selat Madura saat pasang. Kalau tidak segera dilakukan tindakan, maka diduga sedimentasi bisa membentuk land bridge yang dapat menyatukan Pulau Jawa dan Pulau Madura (Harriyadi et al.,2024)!

Contoh Nyata Bersatunya Dua Pulau

Pedangkalan Selat Muria. Sc: medium.com

Dugaan tersebut sebenarnya tidak asbun, karena ada contohnya di Jawa. Pada abad ke-17, Pulau Jawa dan Pulau Muria (kini Gunung Muria) bersatu akibat proses sedimentasi. Sebelum bersatu, Pulau Muria dipisahkan oleh Selat Muria, yang menjadi jalur perdagangan penting di masa Kerajaan Demak, menghubungkan kota-kota perdagangan di pesisir utara Jawa, termasuk Demak, Rembang, dan Jepara. Pelabuhan Demak di tepi Selat Muria bahkan memainkan peran vital dalam lalu lintas kapal dagang yang berlayar dari Malaka menuju Maluku (Harriyadi et al, 2024). Proses sedimentasi ini dipercepat oleh material yang terbawa dari sungai-sungai di sekitar Demak, yang akhirnya mengendap di dasar Selat Muria dan secara bertahap menyatukan Pulau Muria dengan Jawa. Pada akhirnya, selat tersebut menghilang dan berubah menjadi daratan subur yang kini mencakup wilayah Kabupaten Kudus, Pati, dan Demak.

Penyatuan ini turut mengubah dinamika ekonomi dan perdagangan di wilayah tersebut, dengan Jepara mengambil alih peran Demak sebagai pelabuhan penting ketika terjadi pendangkalan selat. Saat ini, bekas selat itu sudah menjadi dataran subur yang dimanfaatkan untuk pertanian dan permukiman penduduk (IAGI, 2010). Bersatunya Pulau Muria dan Jawa adalah contoh nyata bagaimana proses alam dapat mengubah lanskap geografis dan kondisi manusia pada wilayah tersebut.

Bengawan Solo, Riwayatmu Ini

Jadi, kembali ke Bengawan solo, ia kini sudah banyak mengalami perubahan dengan dibangunnya beberapa waduk, sodetan, dan bendungan sedari dulu masa Kolonial Hindia Belanda hingga saat ini. Sungai ini masih menjadi perhatian insani, dimanfaatkan oleh warga yang tinggal disekitarnya untuk melakukan kegiatan sehari-hari seperti tambak ikan, mencari kerang saat laut surut, dan sarana irigasi. Tetapi, pemindahan muara Sungai Bengawan Solo mendapatkan tantangan kembali, karena berpotensi kembali mengalami pendangkalan yang diakibatkan oleh endapan sedimen tersuspensi (Banjarnahor et al., 2016). Sayangnya pula, berdasarkan nilai Indeks Pencemaran (IP) yang dikembangkan oleh Nemerow dan Sumitomo, sungai ini memiliki kondisi tercemar ringan sampai sedang karena pertambahan penduduk, perubahan tata guna lahan, dan pertumbuhan industri di sepanjang sungai ini (Sutriati, 2012).

Seiring waktu yang terus berjalan, Bengawan Solo tetap mengalir, meskipun wajahnya berubah seiring dengan peradaban yang beranjak dewasa. Seperti halnya kehidupan yang dinamis, sungai ini mengajarkan bahwa setiap perubahan adalah bagian dari perjalanan panjang yang tak terhindarkan. Mungkin perahu-perahu yang dahulu lalu lalang melintasinya sudah jarang terlihat, namun aliran airnya masih membawa cerita dari masa lalu hingga kini, seolah berbisik bahwa meski segalanya berubah, kita harus tetap menjaganya agar manfaatnya tetap mengalir, memberi kehidupan dan warisan yang tak ternilai bagi generasi mendatang.

Bengawan Solo… Riwayatmu Kini? Sc: Wikimedia Commons

Referensi

  1. Banjarnahor, B., Atmodjo, W., & Hariyadi, H. (2016). Sebaran Sedimen Tersuspensi Di Perairan Muara Sungai Bengawan Solo, Gresik, Jawa Timur. Jurnal Oseanografi, 5(4).

  2. Harriyadi, Arafah Wiryandara, H., Nugroho, D., Mahardian, D., Jauharatna, K., Fauzi Hendrawan, M., & Refani Lumban Tobing, L. (2024). SEJARAH MODIFIKASI LANSKAP HILIR SUNGAI BENGAWAN SOLO PADA AKHIR ABAD KE-19. WALENNAE: Jurnal Arkeologi Sulawesi, 22(1), 45–66.

  3. Hendro, E. P. (1995). Kajian Sosio-Ekologis Mengenai Pusat Kerajaan Demak. Berkala Arkeologi, 15(3), 47–59. https://doi.org/10.30883/jba.v15i3.670.

  4. Hoekstra, P. (1988). Coastal hydrodynamics, geomorphology and sedimentary environments of two major Javanese river deltas. Program and preliminary results from the Snellius-II expedition (Indonesia). Journal of Southeast Asian Earth Sciences, 2(2), 95-107.

  5. IAGI. (2010). Tinjauan Awal Sedimentasi Di Selat Muria Sebagai Penyebab Mundurnya Kerajaan Demak. Proceedings PIT IAGI Lombok. https://www.iagi.or.id/web/digital/12/2010_IAGI_Lombok_Tinjauan-Awal,-Sedimentasi.pdf.

  6. Sutriati, A. (2012). PENILAIAN TINGKAT PENCEMARAN AIR S. BENGAWAN SOLO DENGAN MENGGUNAKAN INDEKS KIMIA-FISIKA. Jurnal Sumber Daya Air, 8(1).

  7. Tundu, C., Tumbare, M. J., & Kileshye Onema, J. M. (2018). Sedimentation and Its Impacts/Effects on River System and Reservoir Water Quality: case Study of Mazowe Catchment, Zimbabwe. Proceedings of the International Association of Hydrological Sciences, 377, 57–66. https://doi.org/10.5194/piahs-377-57-2018.

  8. Valiant Ruritan, R. (2014, February 26). Solo Valleiwerken: Mega Proyek Zaman Hindia Belanda. Crossing the Waters.