Geofact #3 - The Emergence of Indonesia Environmental Issues
Halo, Geografi! Kita mengetahui bahwa kala ini, seringkali terdapat banyak masalah lingkungan di Indonesia. Dari mana, sih, datangnya masalah tersebut? Bagaimana isu tersebut berkembang dalam sejarah panjang Indonesia? Infografis singkat yang Departemen Plato telah adaptasi dari tulisan dosen kami, Mba Fathia, bertujuan menjelaskan secara singkat bagaimana isu lingkungan muncul dari masa Belanda hingga saat ini! Penasaran? Yuk cermati!
GEOFACT
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sejarah panjang dengan masalah lingkungan. Proses munculnya masalah lingkungan di Indonesia secara garis besar dibagi menjadi tiga era:
Era Kolonial
Era Orde Baru
Era Desentralisasi
Pada era kolonial, hubungan antara lingkungan dengan manusia didasari dari citra Indonesia sebagai daerah tropis; Indonesia dipandang sebagai “Zamrud Khatulistiwa.”
Selain sebagai sumber penghidupan rakyat pribumi, lingkungan alam menjadi komoditas ekspor penting dalam bentuk pertanian, pertambangan, dan kehutanan (Protschky, 2011).
Karena itu, fokus dari kebijakan lingkungan dari pemerintah Belanda adalah mengontrol tenaga kerja rakyat Jawa serta bentang lahan alamiah di Indonesia, seperti dalam kebijakan cultuurstelsel.
Citra Daerah Tropis: Bentang Lahan Indonesia Pada Era Kolonial
Politik Lingkungan di Indonesia pada Era Orde Baru
Periode ini ditandai dengan pemusatan (sentralisasi) kekuasaan di tangan Presiden, yang berlangsung dari tahun 1960an-1990an.
Dalam periode ini, fokus dari manajemen lingkungan bertujuan untuk memanfaatkan kekayaan sumber daya alam dan pertumbuhan penduduk Indonesia yang pesat untuk pertumbuhan ekonomi.
Tetapi, karena adanya sentralisasi kekuasaan mendorong fokus terhadap pertumbuhan ekonomi semata dan menyepelekan isu lingkungan.
Sekalinya diperhatikan oleh pemerintah, isu lingkungan tersebut digunakan untuk memikat masyarakat atau hanya diperhatikan ketika memiliki manfaat ekonomis (MacAndrews, 1994).
Akhir Orde Baru dan Munculnya Desentralisasi
Pemusatan kekuasaan mendorong ketidakpuasan masyarakat, mendorong tumbangnya pemerintahan Orde Baru. Akibatnya, terjadi perubahan masyarakat Indonesia menjadi negara yang lebih demokratis dengan kekuasaan yang lebih terdesentralisasi.
Tetapi, desentralisasi ini tidak menyelesaikan masalah.
Seringkali, desentralisasi kepada pemerintahan lokal justru malah meningkatkan eksploitasi sumber daya alam secara ugal-ugalan, seperti menjamurnya kebun sawit di Sulawesi dan Sumatera. Hal ini didorong oleh komersialisasi sumber daya tersebut demi pendapatan daerah (Setiawan & Hadi, 2007).
Maka dari itu, kebijakan desentralisasi Indonesia masih perlu diperhalus dalam segi masalah lingkungan.
Kesimpulan
Kala itu, Reeve et al (2002) meneliti Lembah Murray-Darling di Australia, dan mencapai kesimpulan bahwa kondisi lembah tersebut, dirinya merupakan sumber daya, dipengaruhi oleh kebijakan yang telah lalu, dan bisa menjadi patokan untuk masa depan. Sesuai dengan kesimpulan tersebut, memahami sejarah panjang masalah lingkungan di Indonesia tidak cukup untuk menyelesaikan lingkungan, tetapi kita bisa memahami kegagalan dan kesuksesan masa lalu untuk merumuskan kebijakan yang lebih baik kedepannya.
Johannes Van Den Bosch
Pelopor Kebijakan Cultuurstelsel
Referensi
Indonesian law no. 22 1999 (Undang-undang no. 22/1999).
Indonesian law no. 25 1999 (Undang-undang no. 25/1999).
MacAndrews, C 1994, ‘Politics of the environment in Indonesia’, Asian Survey, vol. 34, no. 4, pp. 369-380.
Protschky, S 2011, Images of the tropics: environment and visual culture in colonial Indonesia, Kitlv Press, Leiden.
Reeve, I, Frost, L, Musgrave, W & Stayner, R 2002, ‘Agriculture and natural resource management in the Murray-Darling Basin: A policy history and analysis’, Report to the Murray-Darling Basin Commission, Institute for Rural Futures, University of New England, Armidale.
Setiawan, B & Hadi, SP 2007, ‘Regional autonomy and local resource management in Indonesia’, Asia-pacific Viewpoint, vol. 48, no. 1, pp. 72-84.