Geofact #2 - Kenapa Jawa Menjadi Kunci
Halo, Geografi! Jawasentrisme adalah salah satu masalah besar yang dihadapi pemerintah saat ini. Ia merujuk pada pembangunan ekonomi besar-besaran yang hanya dilakukan di Jawa; menyebabkan adanya pemusatan ekonomi, serta peluang pekerjaan, dan standar hidup di Jawa. Maka dari itu, seringkali kita membuat meme yang mengutip film Pengkhianatan G30S/PKI, bahwa “Jawa adalah kunci.” Tetapi apa, sih yang membuat Jawa berkembang lebih pesat? Apa sih yang membuat Jawa menjadi kunci?
GEOFACT
“Karena Jawa adalah kunci.” Teman-teman pasti pernah mendengar kalimat “sakti” tersebut. Kalimat tersebut diucapkan oleh D. N. Aidit di film Pengkhianatan G30SPKI ketika merencanakan suatu kudeta. Ia membandingkan rencananya dengan Pemberontakan PRRI/Permesta, yang ia nilai gagal karena tidak menguasai Pulau Jawa. Karena itu, rencananya ia arahkan untuk merebut Jawa, pusat ekonomi dan penduduk Indonesia; makanya, sebut Aidit, “Jawa adalah kunci.”
Tapi, teman-teman, pernyataan Aidit itu memunculkan pertanyaan geografis: kok, Jawa yang menjadi kunci, bukan Sumatra atau Kalimantan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, teman-teman, kita bisa merujuk kepada konsep interaksi alam dan manusia yang menjadi salah satu dari lima tema dasar geografi.
Selain lokasi, tempat, wilayah, dan pergerakan, salah satu tema ilmu geografi adalah interaksi alam-manusia. Jadi, perkembangan peradaban manusia bisa dibantu atau dibatasi oleh kondisi alam di sekitarnya, sementara itu, manusia juga menggunakan dan bahkan merusak alam untuk mengembangkan peradabannya. Inilah dasar dari tema interaksi alam-manusia (Kuby, 2013). Pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari tema ini berhubungan dengan peradaban manusia, seperti “Apakah perkembangan kota merusak lingkungan?” atau “Bagaimana manusia beradaptasi terhadap Timur Tengah yang gersang?”
Agar tahu kenapa Jawa menjadi “kunci”, kita perlu mempelajari bagaimana interaksi alam-manusia di Jawa. Berarti, pertanyaan kita adalah, “bagaimana interaksi alam-manusia di Jawa mendorongnya untuk menjadi pusat aktivitas di Indonesia.” Makanya, kita harus mulai dari latarnya: bagaimanakah kondisi alami Jawa?
Di abad ke-16, berkenaan adanya ekspansi dagang internasional (Reid, 1990), Pelabuhan Demak menguat sampai bisa menaklukkan Kerajaan Majapahit dan Sunda di pedalaman Pulau Jawa (Ricklefs, 2001). Tetapi, karena terjadi krisis dagang pada abad ke-17, kekuatan kota-pelabuhan di Jawa menyurut, dan pusat kekuatan di Jawa berpindah ke kota-kota di pedalaman seperti Pajang dan Mataram, membuat corak ekonomi Jawa menjadi murni agraris (Setiadi, 2022). Ketika kekuatan dagang Jawa menyusut, VOC masuk mengisi.
Setelah perlahan-lahan menaklukkan kerajaan-kerajaan Pribumi seperti Mataram, VOC mengubah Jawa sesuai tujuan mereka: mencari cuan (Van Klaveren, 1953). Makanya, VOC dan kemudian Belanda mengenalkan tanaman ekspor seperti lada dan kopi ke Jawa Barat, mendorong perkembangan sistem pertanian yang disebut “Preanger-stelsel.” (Setiadi, 2022; Van Klaveren, 1953) Ditambah lagi, “kedamaian” panjang karena pemerintahan Belanda mendorong populasi Jawa berkembang pesat (Van Klaveren, 1953). Dengan beras dari sawah, cuan dari Preanger-stelsel, dan tenaga kerja yang banyak, Jawa menjadi daerah yang sangat menguntungkan bagi Belanda di Batavia, membuatnya menjadi pusat kekuasaan Belanda di seluruh Hindia Belanda.
Secara geografis, Jawa berada di ring of fire yang melingkari Samudera Pasifik; akibatnya Jawa sering mengalami erupsi gunung berapi. Selain itu, Jawa dan pulau-pulau lain di Indonesia terletak dalam zona tropis muson yang panas dan memiliki curah hujan yang tinggi (Avijit, 2005). Biasanya, tanah di daerah zona ini jelek untuk pertanian, karena mineral yang terkandung pada tanah seringkali dibawa limpasan hujan (runoff) (Van Klaveren, 1953). Karena itu, meski banyak pepohonan tumbuh, tanah dari mayoritas pulau Indonesia sebenarnya tidak cocok untuk bercocok tanam.
Untungnya, di Jawa sering terjadi erupsi gunung berapi (Van Klaveren, 1953). Akibatnya, abu vulkanik yang mengandung tuffa andesit, jenis batuan yang kaya mineral, memungkinkan manusia untuk bercocok tanam padi di Jawa. Selain itu, Jawa yang curah hujannya tinggi dan bergunung memberi persediaan air agar padi bisa ditanam sepanjang tahun (Van Klaveren, 1953). Makanya, munculnya sistem pertanian “sawah” (Van Klaveren, 1953). Karena itu, bisa dibilang kalau di Jawa, tongkat dan kayu saja jadi tanaman.
Karena ia menjadi pusat, Jawa berkembang lebih cepat daripada pulau-pulau lain di Indonesia. Pada tahun 1870an, ketika Belanda membuka Hindia Belanda kepada modal swasta, yang pertama “diserbu” adalah Jawa (Van Zanden et al., 2013), yang tanahnya subur dan tenaga kerjanya banyak. Justru, perkembangan di pulau-pulau lain seperti Sumatra dan Sulawesi baru dilakukan Belanda di abad ke-20 (Van Klaveren, 1953). Makanya, bahkan setelah merdeka, aktivitas ekonomi Indonesia tetap terpusat di Jawa (Dick et al., 2002).
Karena itu muncul dua “kutub” ekonomi, antara “Jawa” dan “Luar Jawa.” Agar bisa menumbuhkan ekonomi mereka, Luar Jawa seringkali terpaksa menjual tanaman ekspor mereka seperti karet dan kopra ke luar negeri secara langsung, tanpa izin Pemerintah (Dick et al., 2002). Di satu sisi, perdagangan ilegal dari Luar Jawa membuat negara kehilangan sumber pendapatan, tapi di sisi lain, Jawa tidak menjamin pembangunan merata: pertentangan ini menyebabkan meletuslah pemberontakan PRRI/Permesta yang tadi sempat disebut (Dick et al., 2002). Tapi, tentunya, PRRI/Permesta kalah kepada Jawa yang berpenduduk dan berekonomi lebih besar (Ricklefs, 2001).
Ternyata, gak semua dari alam Indonesia seperti ini, lho! Hanya Jawa, Bali, dan daerah Minangkabau yang bisa menopang sawah. Meski alamnya mirip, Sumatra dan bahkan Jawa Barat ternyata tidak cocok untuk persawahan karena jenis batuannya bukan tuffa andesit (Van Klaveren, 1953). Akibatnya, sawah tidak muncul di daerah tersebut, yang justru mengembangkan sistem ladang atau tebang-bakar (swidden) (Setiadi et al., 2017; Van Klaveren, 1953), agar abu tanaman yang terbakar bisa menjadi mineral yang diperlukan tanaman.
Karena bisa menanam padi sepanjang tahun, Jawa menjadi sentra produksi pangan. Kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa seperti Demak, Jepara, dan Pati menjadi pusat perdagangan beras dari pedalaman Jawa dengan rempah-rempah dari Maluku, serta barang-barang dari Tiongkok dan India (Reid, 1990). Sebagai pusat pangan, Jawa dapat bermain dalam politik Nusantara sejak abad ke-10, dan bahkan sempat menyatukan Nusantara di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit (Ricklefs, 2001; Setiadi, 2022; Van Klaveren 1953).
Makanya, Jawa adalah kunci. Interaksi alam-manusia di Jawa memacu Jawa untuk berkembang lebih cepat daripada di pulau-pulau lain. Alamnya subur, yang dimanfaatkan manusia untuk menanam tanaman ekspor dan bertumbuh dalam jumlah besar, membuat ekonominya dapat berkembang lebih cepat, dan membuatnya mengambil posisi pusat di pulau-pulau Indonesia.
Tapi, ada sisi negatifnya. Seperti yang sudah disebut, muncul kutub “Jawa” yang mendominasi ekonomi Indonesia, sementara pulau-pulau Luar Jawa tetap tidak terbangun. Setelah pemberontakan PRRI/Permesta tadi ditumpas, pembangunan tetap terpusat di Jawa. Pada masa Orde Baru (1966-1998), Jawa mendapat kucuran dana melakukan industrialisasi, yang sebagian sumbernya berasal dari pendapatan pulau-pulau Luar Jawa (Dick et al., 2002). Karena itu, muncul istilah Jawasentrisme.
Kita semua tentu setuju Jawasentrisme itu buruk. Karena itu, sampai sekarang, pemerintah Indonesia berusaha mendorong adanya pemerataan pembangunan di seluruh Indonesia. Tetapi, pemerataan bukanlah penyamarataan: sukses Jawa tentunya didorong oleh lingkungannya. Kita tidak boleh “men-Jawa-kan” pulau lain, karena setiap daerah memiliki “rumus” perkembangan mereka sendiri.
Tidak semua pulau di Indonesia punya tanah sesubur atau populasi sebanyak Jawa. Mungkin, mereka diberkati kelebihan lain, seperti teluk-teluk yang strategis untuk pelabuhan, atau kekayaan biodiversitas yang melimpah, yang bisa menjadi jalur-jalur pengembangan mereka sendiri. Intinya, kunci untuk mengembangkan setiap pulau di Indonesia adalah memahami interaksi alam-lingkungan yang terjadi di pulau tersebut.








Terasering, salah satu bentuk interaksi yang sering ditemukan di Jawa


Preanger-stelsel. Sc: Kompas.com


Peta IPM Indonesia: makin hijau, makin tinggi IPM-nya; IPM biru menunjukkan tingkat tertinggi, dan tentunya berada di Jakarta. Sc: Wikimedia Commons
Karena Jawa adalah koentji
Interaksi Alam-Manusia
Di Sini Gunung, Di Sana Gunung
Tongkat dan Kayu Jadi Tanaman?
Perkembangan Sejarah Jawa
Jawa Menjadi Kunci
Jawasentrisme?
Pembangunan yang Merata


Referensi
Gupta, Avijit. The Physical Geography of Southeast Asia. OUP Oxford, 2005.
Van Klaveren, J. J. The Dutch Colonial System in the East Indies, 1953.
Setiadi, Hafid, Hadi Sabari Yunus, and Bambang Purwanto. “The Metaphor of ‘Center’ in Planning: Learning from the Geopolitical Order of Swidden Traditions in the Land of Sunda.” Journal of Regional and City Planning 28, no. 2 (24 Agustus 2017): 111. https://doi.org/10.5614/jrcp.2017.28.2.3.
Reid, Anthony. “The Seventeenth-Century Crisis in Southeast Asia.” Modern Asian Studies 24, no. 4 (1990): 639–59. https://doi.org/10.1017/s0026749x00010520.
Setiadi, Hafid, Hadi Sabari Yunus, and Bambang Purwanto. “A Spatial Political-Economic Review on Urban Growth in Java under Economic Liberalization of Dutch Colonialism During the 19th Century.” Indonesian Journal of Geography 54, no. 3 (20 Desember 2022). https://doi.org/10.22146/ijg.60550.
Ricklefs, Merle Calvin. A History of Modern Indonesia Since C. 1200. Stanford University Press, 2001.
Van Zanden, Jan Luiten, and Daan Marks. An Economic History of Indonesia. Routledge, 2013.
Dick, Howard, Vincent J. H. Houben, J. Thomas Lindblad, and Kian Wie Thee. Emergence of a National Economy. University of Hawaii Press, 2002.